Pengertian Islam Liberal
Sahabat info dakwah islam, Menurut Kurzman, pengertian islam liberal dari pencarian otentitas Islam dari sudut pandang (pemikir) Muslim Liberal, melahirkan tiga model utama dalam Islam Liberal. Pertama, pemikiran dan sikap liberal memang secara otentik dilegitimasi oleh syariat Islam, yang oleh Kurzman disebut liberal sharia. Kedua, islam liberal berpandangan bahwa syariat justru tidak memberikan jawaban yang jelas atau problem-problem tertentu. Kurzman menyebut model islam liberal ini dengan silent sharia. Ketiga, bahwa syariat, meski bersifat Ilahiah, namun sesungguhnya bisa tak lepas dari produk penafsiran manusia. Setiap penafsiran manusia atas syariat, tentu hasilnya berbeda satu sama lain. Diakuilah multi interpretation atas syariat.
Sejarah Singkat Islam Liberal Para liberalis awal
Di bawah ini sejarah singkat islam liberal, bahwa para pembaharu awal seperti al-Tahtawi, al-Tunisi, dan al-Kawakibi menyadari betul kondisi kaum Muslim yang terbelakang. Perhatian utama mereka: bagaimana mengubah keadaan ke arah lebih baik. Mereka selalu membenturkan kondisi keterbelakangan kaum Muslim dengan kemajuan Eropa. Persis seperti yang dipertanyakan Abd al-Rahman al-Kawakibi dalam bukunya, limadza taakhkhara al-muslimun wa limadza taqaddama ghayruhum (mengapa kaum Muslim mundur dan mengapa bangsa lain maju?).
Seluruh pemikiran dan gagasan yang dikemukakan para pembaharu Islam abad ke-19 berputar pada upaya menjawab pertanyaan di atas. Adalah ironis, peradaban yang pada masa silam memiliki sejarah gemilang dan kitab sucinya mewartakan “umat terbaik di dunia” (khayru ummatin ukhrijat linnas) berada pada titik nadir peradaban. Bukan hanya berada dalam keterbelakangan, mereka juga dalam penjajahan bangsa lain. Mesti ada satu sebab utama mengapa kaum Muslim terbelakang dan mengapa bangsa Eropa maju?
Rifa’a al-Tahtawi (1801-1873) adalah salah satu tokoh pembaharu pertama yang mencoba menjawab pertanyaan itu. Menurut al-Tahtawi, kunci pertanyaan itu adalah “kebebasan” (hurriyyah). Bangsa Eropa maju karena memiliki kebebasan. Temuan sains dan teknologi di Eropa sejak abad ke-16 didorong oleh suasana kebebasan dalam masyarakat itu. Tahtawi menganggap kebebasan bukan hanya kunci bagi kebahagiaan, tapi juga bagi keamanan dan kesejahteraan. Sebab utama keterbelakangan kaum Muslim, menurut Tahtawi, ialah ketiadaan kebebasan itu. Ini sudah terjadi sejak kerajaan Islam di Baghdad (abad ke-12) dan Cordova (abad ke-15) runtuh. Sebaliknya, kebebasan berpikir yang dalam istilah agama dikenal dengan ijtihad justru dimusuhi dan diharamkan. Selama rentang abad ke-15-ke-19, wacana pemikiran Islam diwarnai dengan semangat menutup pintu ijtihad.
Tahtawi tak sendirian meyakini kebebasan sebagai kunci kemajuan suatu bangsa. Pada 1878 Sa’dullah, intelektual dan diplomat Turki, berkunjung ke Pameran Besar di Paris. Dalam sepucuk surat kepada teman-temannya, dia bercerita: “Di depan pintu utama aku melihat patung kebebasan. Dia duduk dan memegang sesuatu di tangannya. Gayanya seolah sedang menyampaikan pesan: ‘Hai para pengunjung! Jika Anda menyaksikan berbagai pencapaian kemajuan manusia dalam pameran ini, jangan lupa bahwa seluruh pencapaian ini adalah hasil dari kebebasan. Lewat kebebasan manusia mencapai kebahagiaan. Tanpa kebebasan, tak akan ada keamanan; tanpa keamanan, tak akan ada pencapaian; tanpa pencapaian, tak akan ada kesejahteraan; tanpa kesejahteraan, tak akan ada kebahagiaan’.” (Lewis 1964:47). Para pembaharu atau liberalis Muslim awal melihat kebebasan benar-benar sebagai kunci kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan individu, tapi juga kebahagiaan suatu bangsa. Pandangan ini mengingatkan kita pada Francis Fukuyama (2000) ketika menjelaskan “modal sosial” dalam berdemokrasi. Menurut Fukuyama, demokrasi sangat ditentukan oleh modal sosial yang mendukungnya. Modal sosial adalah sekumpulan berbagai unit dalam sebuah masyarakat. Unit terkecil kumpulan social adalah keluarga yang terdiri dari individu-individu. Jika individu dalam keluarga ini baik, dia akan memiliki dampak pada unit yang lebih besar, yakni masyarakat sebagai modal demokrasi.
Tahtawi dan para pembaharu Islam abad ke-19 juga melihat kebebasan individu sebagai langkah awal mewujudkan kebahagiaan dan sukses yang lebih besar. Yang dimaksud dengan kebebasan adalah kebebasan politik, suatu keadaan di mana individu bisa memikirkan dan berbuat sesuatu secara bebas tanpa tekanan atau larangan penguasa. Yang dimaksud dengan “penguasa” sebetulnya adalah kepala negara—raja maupun sultan—tapi dalam pemahaman Tahtawi dan para pembaru awal Islam, “penguasa” adalah otoritas dalam sebuah kelompok masyarakat yang mampu memengaruhi. Dalam hal ini, tokoh atau lembaga agama yang memiliki pengaruh politik di masyarakat bisa dianggap sebagai “penguasa”. Problem utama absennya kebebasan dalam Islam, menurut Tahtawi, bukan hanya datang dari penguasa politik (pemerintah), melainkan juga dari penguasa agama. Kadang kedua kekuasaan ini bergabung jadi satu, mengakibatkan keadaan makin buruk. Para pemimpin politik melarang kebebasan karena takut kekuasaannya terancam. Para tokoh agama melakukan hal serupa karena takut kehilangan otoritas sebagai petinggi agama. Kasus pelarangan terhadap kebebasan yang terjadi di Mesir kerap melibatkan dua kubu antara kekuasaan agama (yang biasanya diwakili oleh lembaga al-Azhar) dan para pembaharu Muslim yang umumnya berada di luar—atau tak sedang menjabat posisi penting dalam—lembaga itu.
Daftar 50 TOKOH ISLAM LIBERAL INDONESIA
Dalam forum detik saya membaca ada 50 tokoh islam liberal di antaranya adalah :
A. Para Pelopor
1. Abdul Mukti Ali
2. Abdurrahman Wahid
3. Ahmad Wahib
4. Djohan Effendi
5. Harun Nasution
6. M. Dawam Raharjo
7. Munawir Sjadzali
8. Nurcholish Madjid
B. Para Senior
9. Abdul Munir Mulkhan
10. Ahmad Syafi’i Ma’arif
11. Alwi Abdurrahman Shihab
12. Azyumardi Azra
13. Goenawan Mohammad
14. Jalaluddin Rahmat
15. Kautsar Azhari Noer
16. Komaruddin Hidayat
17. M. Amin Abdullah
18. M. Syafi’i Anwar
19. Masdar F. Mas’udi
20. Moeslim Abdurrahman
21. Nasaruddin Umar
22. Said Aqiel Siradj
23. Zainun Kamal
C. Para Penerus “Perjuangan”
24. Abd A’la
25. Abdul Moqsith Ghazali
26. Ahmad Fuad Fanani
27. Ahmad Gaus AF
28. Ahmad Sahal
29. Bahtiar Effendy
30. Budhy Munawar-Rahman
31. Denny JA
32. Fathimah Usman
33. Hamid Basyaib
34. Husein Muhammad
35. Ihsan Ali Fauzi
36. M. Jadul Maula
37. M. Luthfie Assyaukanie
38. Muhammad Ali
39. Mun’im A. Sirry
40. Nong Darol Mahmada
41. Rizal Malarangeng
42. Saiful Mujani
43. Siti Musdah Mulia
44. Sukidi
45. Sumanto al-Qurthuby
46. Syamsu Rizal Panggabean
47. Taufik Adnan Amal
48. Ulil Abshar-Abdalla
49. Zuhairi Misrawi
50. Zuly Qodir